Kiat perlindungan data pribadi untuk konsumen dan platform digital
Ancaman cybercrime masih menjadi ancaman serius, bagaimana data pribadi diserang. Namun bukan berarti kami tidak ada untuk melindungi data pribadi di industri digital ini.
Transformasi digital dan industri tekfin telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir, tetapi ada juga kesadaran akan ancaman kejahatan dunia maya.
Kiat perlindungan data pribadi untuk konsumen dan platform digital
Baca juga:
– Kominfo meminta orang untuk berhati-hati terhadap aplikasi ilegal yang dapat mencuri informasi pribadi
– Kolaborasi VIDA dan DocuSign menawarkan pilihan solusi tanda tangan elektronik
– VIDA membahas kepercayaan digital, faktor pendorong transformasi digital nasional
– VIDA: Identitas digital yang aman semakin dibutuhkan di dunia kerja
Tidak hanya hadirnya oknum yang menyalahgunakan kepentingan masyarakat
dalam menggunakan fintech atau berinvestasi, tetapi juga pencurian data dari aplikasi terkini.
Hal itu terungkap dalam diskusi antara Investree, pionir fintech lending, dan VIDA, salah satu pionir e-signatures bersertifikat di Indonesia, di acara live Instagram Cyber Crime is Rising, The Importance of Consumer Keamanan Data di Industri Fintech Lending” dalam rangka memperingati Hari Konsumen Nasional. .
Sati Rasuanto, CEO dan co-founder VIDA, menyatakan: “Dalam dunia online, VIDA percaya bahwa kepercayaan adalah aspek yang paling penting karena memungkinkan kita untuk mempercayai ide atau produk yang belum pernah kita ketahui sebelumnya. Langkah pertama dalam melindungi platform digital kami dari penipuan dunia maya, jadi kami membangun proses pemeriksaan kepercayaan sebagai titik masuk di awal.”
Bagi pengguna, Sati menekankan pentingnya tidak mudah membagikan informasi pribadi seperti KTP
, selfie dengan KTP, foto paspor, foto boarding pass, nomor rekening bank, nomor kartu kredit, terutama nama ibu kandung, termasuk fotokopi berbagai dokumen tersebut. , dengan pihak ketiga.
“Hal-hal seperti itu sebenarnya mudah diingat. Maka jangan pernah memberikan kode OTP (One-Time-Password) dan jangan hanya mengklik link yang juga menjanjikan hadiah, kebanyakan kalau sedang online saat itu terlalu bagus untuk menjadi kenyataan biasanya bohong.” usir Sati.
Didukung oleh GliaStudio
CEO dan salah satu pendiri VIDA, Sati Rasuanto. (Vida)
CEO dan salah satu pendiri VIDA, Sati Rasuanto. (Vida)
Penelitian dari Digital Frontier menunjukkan bahwa lebih dari 78% konsumen Asia Tenggara mengidentifikasi diri mereka sebagai penjelajah digital, di mana mereka selalu ingin mencoba layanan baru yang mewakili pengalaman digital.
Di sisi lain, kerugian akibat penipuan transaksi online di Asia Tenggara pada tahun 2019 mencapai US$260 juta atau sekitar 3,6 triliun rupiah, dan 71% di antaranya berasal dari penipuan identitas.
Inilah urgensi untuk memiliki proses identifikasi online atau electronic know-your-customer (e-KYC). Apalagi di era serba digital, tidak semua orang bisa menyempatkan diri hadir secara fisik di cabang dan menunggu lama.
Lebih lanjut Sati menjelaskan: “Misalnya, jika seseorang ingin membuka akun di platform digital, sistem verifikasi memastikan bahwa orang tersebut diverifikasi dengan benar. Analoginya membiarkan orang masuk ke dalam rumah, mau orangnya menginap atau buka akun kulkas sudah percaya platform orang itu karena mereka punya kendali di pintu masuk. Namun begitu orang tersebut berada di dalam dan ingin melakukan transaksi, orang tersebut tinggal melalui proses yang disebut autentikasi seperti tanda tangan elektronik.
Umumnya, proses identifikasi tradisional menggunakan email, nomor telepon, atau nama pengguna dan kata sandi. Namun, identitas ini dapat menimbulkan masalah karena tidak unik.
Untuk itu, VIDA melakukan pemeriksaan identitas berdasarkan identitas yang dikeluarkan pemerintah, dalam hal ini e-KTP sebagai dasar verifikasi yang kuat untuk memastikan kebenaran pemilik data.
“Selanjutnya proses verifikasi saat ini umumnya dilakukan dengan swafoto atau foto KTP atau selfie dengan KTP. Bedanya VIDA menggunakan teknologi liveness detection, dimana teknologi tersebut memastikan yang diverifikasi adalah saya, bukan orang yang memegang foto saya atau memakai topeng saya dan lain sebagainya,” jelas Sati.
Untuk menanamkan kepercayaan dalam proses verifikasi, Sati menambahkan, ada standar untuk proses keamanan data, sehingga semua proses harus dilakukan sesuai standar dan peraturan yang ada, bahkan melebihi (beyond compliance).
“Sebagai non-agen pertama
Baca Juga :